Dissa Syakina Ahdanisa adalah seoraang gadis
berumur 25 tahun alumnus Universitas New South Wales, Australiajurusan
perbankan. Dissa adalah anak sulung dari empat bersaudara.
Walau mendalami bidang perbankan, Dissa tidak
terjun dibidang bank namun pada Mei 2015, Dissa mendirikan Finger Talk Cafe. Sebuah
kafe di kawasan Pamulang, Tangerang Selatan memberikan konsep yang unik dan
berbeda bagi penikmat kuliner. Seluruh pegawainya mulai dari pramusaji, juru
masak hingga kasir adalah seorang pengidap tunarungu.
Semua ini bermula dari keinginan Dissa yang ingin
mengikuti jejak sang ibu untuk bisa membantu kaum tunarungu.Dissa ingin
mewujudkan impian untuk bisa membangun ”sesuatu” bagi para deaf atau tunarungu.
Dissa mengungkapkan, keinginan itu sempat
redup karena minimnya pengetahuan bisnis. Tak punya koneksi dengan komunitas
deaf juga membuat dia susah untuk diterima pada awalnya. Namun rasa sosial itu
muncul kembali saat dia menjadi sukarelawan di Nikaragua, Amerika Tengah, pada
2004. Di sana dia menemukan sebuah kafe dengan seluruh pekerjanya adalah
seorang tunarungu dengan pemilik hearing (seorang normal yang mengerti dan bisa
bahasa isyarat). Pemilik kafe itu adalah seorang lelaki asal Spanyol—Tio Antonio, ia memberi
nama kafe tersebut Café de la Sonrisas. Terinspirasi dengan Café de la
Sonrisas, Dissa ingin membawa pengalamannya ke tanah air dan memberikan
kesempatan yang sama bagi penyandang tunarungu di Indonesia.
Setelah kembali ke Indonesia, Dissa dikenalkan
dengan seorang deaf, Pat Sulistyowati, 65, pada 2014. Pat menyambut baik Dissa dan
langsung menyanggupi untuk membantu. Pat adalah guru keterampilan. Dia membuka
les jahit di rumahnya khusus untuk tunarungu.
Dengan bantuan tersebut, ternyata jalan Dissa
untuk menembus komunitas deaf tidak semulus dugaan awal. Dissa harus menunggu
hingga lima bulan, sejak Desember 2014, untuk bisa bertemu dengan seluruh
karyawannya saat ini. Mereka satu per satu harus didekati dengan cara khusus
untuk menyampaikan maksud Dissa. Usaha tersebut pun membuahkan hasil. Sekarang
secara total ada empat pegawai tunarungu yang bekerja di Finger Talk Café.
Nurul (20) sang pramusaji dari Bandung, Friska (25) asal Bali sebagai juru
masak, Wawan (27) di posisi kasir asal Jember, dan Sari (30) juru masak asal
Pamulang.
Setelah Dissa berhasil merekrut para
tunarungu, perjuangan tidak serta-merta berhenti. Dia harus belajar agar dapat
menemukan pola kerja sama yang pas dengan pekerjanya. Sebab, mereka dinilai
memiliki perasaan yang lebih sensitif ketimbang karyawan yang normal.
Saat tidak nyaman dalam suatu keadaan,
misalnya, raut wajah mereka akan langsung jelas menggambarkan hal tersebut.
Untung, sebelum memutuskan terjun dalam dunia bisnis itu, Dissa belajar dari
Pat. Dia belajar bahasa istyarat, memahami sifat-sifat mereka, serta cara
berkomunikasi dengan baik kepada mereka.
·
Mengapa Beliau saya anggap sebagai
Entrepreneur karena Belian memiliki tekad yang kuat untuk membawa konsep baru
dalam bidang bisnis kuliner dan sosial yang pastilah tak mudah.
·
Beliau memiliki karakter yang
gigih dan tidak mudah menyerah walau kesuliatan banyak dihadapi disepanjang
perjalanannya. Beliau juga fokus dalam impiannya.
·
Beliau memberikan motivasi tinggi
bahwa sebuah bisnis tak harus selalu tertuju pada keuntungan namun bisa
dibarengi dengan tindakan sosial kepada sesama yang membutuhkan .(Sabrina Ika)
(
0 komentar:
Posting Komentar